METROINDONEWS.COM, PADANG – Tidak mewakili suara rakyat, kebebasan pers bukanlah fasilitas, melainkan fondasi demokrasi. Tetapi di balik layar kekuasaan, kerja jurnalistik sering kali terhadang intimidasi, tekanan, hingga ancaman. “Salah satu contoh nyata terjadi di Sumatera Barat”.
Oknum Anggota DPR RI dari Fraksi PKB Rico Alviano, kini tak hanya dikaitkan dengan dugaan korupsi dana Pokir sebesar Rp1,5 miliar, tetapi juga dilaporkan telah mengancam seorang jurnalis yang tengah melaksanakan tugas investigasi.
“Kasus tersebut mengangkat dua luka sekaligus dalam wajah demokrasi yaitu penyalahgunaan kekuasaan untuk membungkam kontrol publik”. Beserta penghinaan secara terang-terangan terhadap hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers.
Kalimat Singkat Padat Mengancam Kemerdekaan Pers
Pada 3 Januari 2025 lalu, Jurnalis Minang Satu, Hendra Idris, ketika sedang melakukan tugas jurnalistik untuk menggali informasi. “Terkait dugaan pemotongan dana dan pemalsuan identitas dalam kegiatan studi tour ke Labuan Bajo”. Target awalnya adalah Kabid Ridonal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumbar.
“Namun belum lima menit setelah pertemuan berlangsung, Hendra menerima panggilan telepon dari Rico Alviano, berikut petikannya:
“Silakan kalau komjen mau ungkit kasus ini, tapi terima saja nanti risikonya”.
Kalimat itu, meskipun singkat, adalah ancaman serius. Ancaman terhadap kemerdekaan pers. Ancaman terhadap keselamatan jurnalis. Dan secara konstitusional, itu adalah pelanggaran HAM.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Menurut Pasal 28E dan 28F UUD 1945, setiap warga negara berhak menyatakan pendapat, memperoleh informasi, dan menyebarkan informasi. Sementara Pasal 19 deklarasi yniversal hak asasi manusia menegaskan hal yang sama.
“Ancaman terhadap jurnalis adalah serangan terhadap hak memperoleh dan menyampaikan informasi”. Dalam konteks Indonesia, hal ini diperkuat oleh:
– UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
– UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
– UU No. 13 Tahun 2006 tentang LPSK
Rico Alviano, sebagai pejabat publik, bukan hanya menyampaikan ancaman verbal. Dia diduga telah menggunakan posisi kekuasaannya untuk menciptakan tekanan psikologis kepada jurnalis dan masyarakat. Sehingga hal tersebut daapt dikategorikan sebagai abuse of power dan pelecehan terhadap kebebasan berekspresi.
Menjadi Perhatian Nasional
1. Jurnalisme investigatif adalah pilar kontrol kekuasaan. Jika jurnalis diancam, maka kekuasaan berjalan tanpa pengawasan.
2. Tindakan Rico bukan insiden biasa. Masalah ini adalah refleksi dari budaya kekuasaan yang tidak mau dikritik dan anti transparansi.
3. Jika kasus ini dibiarkan, akan jadi preseden berbahaya bagi kebebasan pers di daerah lain.
Tegakan Keadilan Lindungi Jurnalis
1. Menuntut Kejaksaan Agung RI dan Komnas HAM menyelidiki dugaan pelanggaran HAM terhadap jurnalis.
2. Meminta Dewan Pers dan LPSK memberikan perlindungan maksimal terhadap Hendra Idris.
3. Mendorong DPR RI melalui Komisi III untuk memanggil dan memeriksa etik anggota DPR yang bersangkutan.
“Jurnalis bukan musuh negara. Ancaman terhadap jurnalis adalah ancaman terhadap hak publik untuk tahu.”
Kasus ini adalah cermin gelap tentang bagaimana kekuasaan bisa melukai demokrasi jika tak dikawal oleh keberanian, hukum, dan suara publik. Ketika seorang jurnalis diancam karena menulis kebenaran, maka satu-satunya respons yang pantas adalah lawan, dan nyalakan secara terang, mengutif keterangan yang bersumber dari wartawan minangsatu: Hendra Idris, Padang (9/5).
(RP/TR)